Friday, November 27, 2009

buku sejarah indonesia

[ Minggu, 09 November 2008 ]
Simbol Abadi Pemersatu Negeri
Di tengah geliat karya terjemahan buku-buku sejarah, misalnya The History of Java karya Thomas Stamford Raffles serta The History of Sumatra-nya William Marsden, muncullah kemudian Nusantara: A History of Indonesia (judul terjemahan: Nusantara: Sejarah Indonesia), karya indolog Bernard H. M. Vlekke, ditulis berkisar 1941-1943. Penyerangan Jepang atas pangkalan militer Amerika di Asia Pasifik (Pearl Harbor), dijadikan penandanya. Barangkali inilah trilogi historiografi terjemahan teranyar yang membincang wacana sejarah negeri ini.

Pemerian sejarah yang dilakukan Vlekke runtut tertata rapi. Menampilkan fragmen-fragmen sejarah masa pra-kolonial hingga sampai kedatangan bangsa kolonialis (Spanyol, Portugis, dan Belanda) di Nusantara. Tepatnya sampai tahun 1945. Porsi pembahasan pra-kolonial disoroti dengan tajam, mendedahkan begitu banyak informasi yang jarang diekpektasikan banyak orang. Mungkin karena itulah buku ini langsung dapat sambutan hangat dari para penggandrung sejarah. Sampai naik cetak ulang dan terpajang di rak buku best seller. Terlebih buku ini terasa berbobot karena penulis melampirkan data sejarah (setumpuk dokumen, buku dan arsip-arsip kuno) yang hampir sepenuhnya berasal dari luar negeri dan diakui otentisitasnya. Dengan dandanan kata dan paragraf yang menarasikan sejarah ilustratif, cantik bak dongeng.

Vlekke membentangkan Bab Pertama dengan deskripsi muasal manusia Indonesia dan pembentukan masyarakat kerajaan. Namun membicarakan ihwal manusia Indonesia ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Saking beragamnya ras manusia yang menyimpul di dalamnya. Menurut dua antropolog bersaudara, P. dan F. Sarasin misalnya, sebelum kedatangan moyang bangsa Indonesia yang tergabung dalam gelombang ''Proto dan Deutero-Melayu'', populasi asli kepulauan Indonesia adalah suatu ras berkulit gelap dan bertubuh kecil. Tetapi lambat laun setelah datangnya penghuni baru yang lebih memilih untuk menghuni daerah-daerah pesisir pantai, sisa-sisa penduduk asli ini akhirnya terdesak ke daerah pedalaman. Hal ini tentu mematahkan asumsi kebanyakan orang yang selama ini mengira moyang bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan di daratan Tiongkok.

Tidak banyak memang sejarawan yang mengulas perihal sejarah Indonesia secara komprehensif. Satu dari yang sedikit itu adalah Vlekke. Untuk mengulas balik sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa, penulis tidak begitu saja mengabaikan informasi dari dua kitab sejarah teramat fenomenal yang kerap diperbincangkan dalam taman sari sejarah Nusantara. Kitab tersebut adalah Pararaton dan Negarakertagama. Dan, bisa jadi hanya dua kitab inilah yang dijadikan sumber dari dalam oleh Vlekke. Menurut Vlekke, kedua kitab tersebut bukanlah sebuah narasi sejarah murni. Karena penulisannya didasarkan atas hal-hal baik yang pernah dilakukan raja. Pendek kata, kitab itu dirancang sekadar untuk memperkuat kedudukan sang raja.

Menurut buku ini, Majapahit adalah sebuah model negara kesatuan di masa silam. Sumpah Amukti Palapa yang keluar dari mulut Gadjah Mada menjadi semacam simbol abadinya. Nama ''Nusantara'' adalah istilah yang amat lekat dan merujuk pada periode ketika Hayam Wuruk menyatukan berbagai pulau besar dan kecil di seluruh negeri ini, di bawah naungan imperium Majapahit. Lalu, saat Nusantara tengah dijajah imperealis Belanda, ketika para pemuda dan rakyat negeri ini cukup concern mendiskusikan akar-akar kesatuan Indonesia (1908), muncullah ide bagi model persatuan yang secara historis paling sesuai dengan yang diingini untuk Indonesia hari itu. Gagasan persatuan dan kesatuan yang menandai lahirnya beberapa organisasi pemuda tersebut akhirnya jatuh pada Majapahit. Jadi, sejatinya, bukan momen historis yang bernama kolonialisme yang menyatukan bangsa ini, melainkan karena masa silamnya yang gilang-gemilang. Meskipun sempat tersebar isu panas, sebagaimana dilansir surat kabar Jawa, Bramartani --asumsi serangan Demak ke jantung imperium Majapahit yang membuat kerajaan ini rontok-- (baca selanjutnya: Ricklefs, Polarising Javanese Society).

Datangnya Belanda telah mengkangkangi Nusantara. Dengan tamak mereka mengeruk kekayaan bumi pertiwi. Mereka juga mengacak-acak beberapa wilayah Nusantara. seperti Ternate, Makassar, Mataram, Banten hingga menyebabkan kerajaan-kerajaan Islam itu menemui nasib yang tak jauh beda dari Majapahit. Bukan sekadar itu, kedatangan kolonialis Belanda telah membentangkan kidung ratap kesengsaraan manusia Indonesia lebih dari tiga abad lamanya. Misi kolonial inilah sesungguhnya yang dilawan penduduk negeri ini. Di mana-mana Belanda sengaja menyulut api peperangan, namun penduduk tak tinggal diam, mereka respons dengan perlawanan yang tak kalah sengit pula. Kesengsaraan penduduk pribumi ini makin terlihat jelas saat Belanda menerapkan sistem tanam paksa. Sebab, diakui atau tidak telah menumbalkan berjuta-juta manusia Indonesia.

Pada bab-bab terakhir, seperti pada Bab IX, Vlekke mengurai seputar aspek-aspek baru yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Penulis menceritakan dengan teramat detail struktur bangunan, tata kota serta keindahan-keindahannya. Tak ketinggalan, lapisan-lapisan masyarakat Belanda yang tinggal di Batavia serta ihwal kehidupan penduduk Batavia.

Selanjutnya pada Bab XX, XI, XII, sampai Bab XII mengulas arogansi kaum penjajah, iklim politik serta gerakan-gerakan di Nusantara (Batavia) khususnya politik perdagangan dalam negeri, pengajaran, mobilitas sosial serta pertumbuhan penduduk Hindia, dari masa Herman Williem Daendels, Thomas Stamford Raffles, hingga masa gubernur jendral Johannes Van Den Bosch. Dan, pada bab-bab terakhir, baru membicarakan bibit-bibit kebangkitan bangsa dan pergerakan nasional di Nusantara.

Keberanian buku yang tersusun atas enam belas bab ini patut diacungi jempol, karena memasang judul Nusantara. Istilah yang kala itu bermuatan reaksioner bagi pihak Belanda. Keterkaitan periode satu dengan periode seterusnya dipaparkan dengan baik, hingga memunculkan kronik sejarah yang kaya. Membacanya, kita seperti sedang dihidangkan suguhan narasi sejarah sebuah negara besar yang membentang dari barat ke timur. Namun, karena buku ini memburu kekomprehensifan, akibatnya justru membuat pembahasannya tidak pernah tuntas. Misalnya, ketika memaparkan Aru Palakka --raja Bone-- dan Kapitan Jonker --orang Ambon asli-- (hlm. 183-205), yang membantu Kompeni Belanda kala itu, latar belakangnya tidak pernah diungkap secara mendetail.

Sebagai sebuah karya yang membincang sejarah negeri ini, Nusantara karya Vlekke ini laik untuk melengkapi minimnya karya indologi serta miskinnya pengetahuan para penikmat sejarah. Di samping itu, hadirnya buku sejarah ini sebagaimana yang diakui Luthfi Assyaukanie, telah mematahkan tesis tentang ketiadaan kaitan antara peristiwa masa lampau dengan peristiwa sekarang. Dari buku ini justru kita dapat mengetahui bahwa kejadian di masa sekarang ternyata ada kaitan erat dengan peristiwa sosial-politik di masa lampau. (*)

---

Judul Buku : Nusantara: Sejarah Indonesia

Penulis : Bernard H.M. Vlekke

Penerjemah : Samsudin Berlian

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Cetakan : I, 2008

Tebal : xxiv + 528 halaman

Misbahus Surur, penyuka sejarah, mahasiswa pasca sarjana UIN Malang
Pelurusan Sejarah Indonesia
[978-979-3472-76-6]
Rp50.000
Rp42.500
Pelurusan Sejarah Indonesia

Penulis: Asvi Warman Adam

Tebal: xx + 270 hlm

Ukuran: 14 x 21 cm

Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang pernah dan belum pernah dimuat di media massa. Sebagian merupakan pengantar beberapa buku sejarah. Sedang sebagian lainnya terdiri dari tinjauan buku terutama yang terbit setelah era reformasi 1998. Substansi yang dibahas merefleksikan perkembangan sejarah Indonesia mutakhir, sebagian besar buku yang dibicarakan itu tergolong kategori terlarang pada masa sebelumnya. Terdiri dari dua bagian: bagian pertama termasuk normal track (jalur normal), maksudnya upaya pengembangan historiografi Indonesia secara normal dalam jangka menengah dan panjang. Sedangkan bagian kedua, mungkin tergolong fast track (jalur cepat), artinya apa-apa yang perlu diperbaiki dalam waktu dekat.

Banyak orang lebih senang memperdebatkan istilah pelurusan sejarah yang dianggap kurang tepat. Kenapa tidak dipakai ungkapan “penulisan sejarah kembali”, ujar mereka. Inti persoalannya bukan pada peristilahan tetapi pengakuan terhadap kenyataan. Faktanya telah terjadi pembengkokan sejarah selama Orde Baru yang dilakukan oleh Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan. Ini seyogianya diakui dulu baru kita boleh berdiskusi tentang soal istilah. Di dalam berbagai tulisan penulis telah menjelaskan tentang rekayasa sejarah yang dilakukan rezim Orde Baru. Buktinya semakin banyak bila ditelaah ulang SNI (Sejarah Nasional Indonesia) jilid 6.

Buku SNI telah mendapat kritik tajam dari BM Diah di Harian Merdeka 8 April 1976 dan tulisan yang sama dimuat bersambung pada Harian Merdeka 18-20 September 1985. Tulisan ini kemudian dibukukan dalam BM Diah, Meluruskan Sejarah, Kumpulan Karangan, Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987. Setelah membaca edisi pertama buku itu, Diah menulis “sejarawan Indonesia 1976 menghukum Sukarno”.

“Atas petunjuk Presiden Sukarno, PKI dan ormas-ormasnya dapat dengan aman melakukan intimidasi dan teror politik terhadap pihak-pihak dan tokoh-tokoh yang dianggap lawan, dengan mengatakan siapa saja menentang Nasakom, apalagi anti PKI adalah kontra revolusioner dan anti Bung Karno.”

Menurut Diah dalam hal ini Bung Karno telah dituduh dan dihukum, karena intimidasi dan teror PKI itu atas petunjuk Presiden Sukarno. Pada cetakan ketiga, bagian tersebut memang sudah tidak ditemukan lagi.

Pda SNI jilid 6 hlm. 17 tertulis “Di antara kaum nasionalis ada juga tokoh-tokoh yang menolak bekerjasama dengan pihak Jepang. Di antara yang terkenal adalah Sutan Sjahrir dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Sikap dari Tjipto selain alasan politik juga karena kesehatannya semakin mundur.” Di sini Amir Sjarifuddin tidak disebutkan. Semata-mata karena ia terlibat peristiwa Madiun 1948. Pada buku yang sama hlm. 161, perjuangan PDRI (Pemerintah Darurat republik Indonesia) hanya disebut datu kalimat. Sementara itu Sudirman begitu diagungkan. Tampak ganjil karena ia sakit keras tetapi masih memimpin gerilya secara total.

Lahirnya PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) dilatarbelakangi oleh hasrat Presiden Soeharto agar pelajaran sejarah tidak sekedar mengajarkan pengetahuan sejarah belaka, melainkan juga menanamkan nilai-nilai perjuangan bangsa dalam hati siswa. Keinginan Soeharto itu muncul setelah ia mendapat masukan dari Jenderal M. Yusuf bahwa calon taruna AKABRI memiliki pengetahuan yang dangkal tentang sejarah perjuangan bangsa. Dari kasus ini kelihatan bahwa urusan internal ABRI ternyata dijadikan urusan nasional. Kepentingan militer mendikte kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

No comments:

Post a Comment